MEMBOBOT
KURIKULUM-2013, “MAJU ATAU BALIK”
Perubahan paradigma
pendidikan di Indonesia terus mengalami dinamika seiring kebutuhan dan
perkembangan iptek. Perubahan dimaksud tercermin pada gonta-ganti kurikulum baik
terhadap strukturnya, pendekatan maupun metode. Kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana
kita ketahui dari waktu ke waktu selalu berubah. Benarkah perubahan tersebut
berdampak pada perbaikan kualitas pendidikan kita? atau sebaliknya justru terlihat membingungkan di kalangan
pelaku pendidikan? Pertanyaan ini bernada pesimis karena hampir di setiap
implementasi kurikulum baru, ada daerah di Indonesia masih meraba-raba
bagaimana menerapkannya atau bahkan ada yang belum sempat melaksanakannya
tiba-tiba pemerintah kembali mengumumkan kurikulum lain. Yang paling
mengejutkan adalah setelah hampir pemberlakuan Kurikulum 2013 secara serentak rampung di semua tingkat
satuan pendidikan, muncul pernyataan baru oleh Menteri Pendidikan Nasional memperbolehkan satuan pendidikan yang
merasa belum siap menerapkan K-13 agar kembali ke KTSP 2006. Andaikan hembusan
angin segar dengan embun sejuknya menyiram desah keringat para guru yang telah
habis-habisan memperjuangkan “start marathon” melalui paket matrikulasi agar bisa
sejajar dengan sekolah yang lebih dulu telah menerapkannya. Bersamaan dengan
itu semua sekolah mulai memutuskan 2 hal : “maju” ?
atau “balik” ? Keputusan terhadap
salah satu opsi tersebut berdasarkan berbagai penilaian dan pertimbangan dari
aspek kesiapan sumber daya manusia maupun sarana prasarananya. Pro atau kontra adalah masalah biasa terhadap
sebuah perubahan. Tentu bagaimana cara orang menilai suatu perubahan tergantung dari sudut pandang yang berbeda.
Fungsi kurikulum sebagai instrumen dalam mencapai
tujuan pendidikan nasional berdasarkan
filsafat,
idiologi, maupun kebudayaan. Pertanyaan, ada apa
dengan Kurikulum 2013 ? Benarkah filosofi K-13 sejalan dengan idiologi
dan budaya bangsa ini, ataukah ? filosofi yang mendasari pengembangan K-13 :
(1) pendidikan berakar pada budaya bangsa yakni membangun kehidupan kekinian
dan masa datang melalui pengalaman belajar, memberi kesempatan luas bagi
peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan masa
kini dan masa depannya sebagai pewaris budaya bangsa serta peduli terhadap
permasalahan bangsa. (2) pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan
intelektual dan kecemerlangan akademik melalui disiplin ilmu sebagai isi
kurikulum dan pembelajaran disiplin ilmu (essentialism).
(3) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih
baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, berkomunikasi, sikap
sosial, kepedulian dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik (social reconstructivism). Aplikasi terhadap
filosofi ini adalah penekanan pada keseimbangan soft skills dan hard skills sesuai hirarki jenjang pendidikan
sehingga dapat menepis persepsi masyarakat bahwa pendidikan selama ini terlalu
menitikberatkan pada aspek kognitif dan kurang berkarakter. Kompetensi inti
(KI) 1 dan 2 sebagai kompetensi penggiring KI 3 dan KI 4 terasa lengkap memuat
harapan kebanyakan orang dalam rangka
membentuk peserta didik menjadi insan yang cerdas intelektual, cerdas emosional
dan cerdas spiritual (IQ, EQ dan SQ).
Selain peserta didik memiliki kompetensi akademik dan keterampilan,
kompetensi religi dan sosial lebih dikedepankan menjadi KI pertama dan kedua,
bukan tanpa makna. Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,
responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia. Semuanya dijadikan gaya belajar dan ”pembiasaan” (habit) sehingga diharapkan sanggup
meminimalkan berbagai fenomena yang mengemuka (perkelahian
pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian
serta dan gejolak sosial lainnya). Pola belajar dengan pendekatan saintifik (5
M) dan penilaian autentik demi menjalankan semua kompetensi inti merupakan
pilihan tepat untuk diterapkan pada pembelajaran masa kini. Selain itu
pergeseran paradigma “pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi “tenaga
professional” menuntut seorang guru sanggup
menentukan pilihan yang tepat tanpa mempersoalkan hadirnya sebuah perubahan
sistem.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi pelaku dan
penyelenggara pendidikan di negeri ini untuk “balik” jika benar mencintai bangsanya dalam menyiapkan generasi
yang cerdas berkarakter serta mampu bersaing secara global. Sekali lagi, “maju”
atau “balik” tergantung keputusan bijak kita.
(Oleh : Dra. NEWYENU WATNEKA, M.Si)