Wikipedia

Search results

Wednesday, March 11, 2015

MEMBOBOT KURIKULUM-2013, “MAJU ATAU BALIK”



MEMBOBOT KURIKULUM-2013,   “MAJU ATAU BALIK”
Perubahan paradigma pendidikan di Indonesia terus mengalami dinamika seiring kebutuhan dan perkembangan iptek. Perubahan dimaksud tercermin pada gonta-ganti kurikulum baik terhadap strukturnya, pendekatan maupun metode. Kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana kita ketahui dari waktu ke waktu selalu berubah. Benarkah perubahan tersebut berdampak pada perbaikan kualitas pendidikan kita? atau  sebaliknya justru terlihat membingungkan di kalangan pelaku pendidikan? Pertanyaan ini bernada pesimis karena hampir di setiap implementasi kurikulum baru, ada daerah di Indonesia masih meraba-raba bagaimana menerapkannya atau bahkan ada yang belum sempat melaksanakannya tiba-tiba pemerintah kembali mengumumkan kurikulum lain. Yang paling mengejutkan adalah setelah hampir pemberlakuan Kurikulum 2013  secara serentak rampung di semua tingkat satuan pendidikan, muncul pernyataan baru oleh Menteri Pendidikan  Nasional memperbolehkan satuan pendidikan yang merasa belum siap menerapkan K-13 agar kembali ke KTSP 2006. Andaikan hembusan angin segar dengan embun sejuknya menyiram desah keringat para guru yang telah habis-habisan memperjuangkan “start marathon” melalui paket matrikulasi agar bisa sejajar dengan sekolah yang lebih dulu telah menerapkannya. Bersamaan dengan itu semua sekolah mulai memutuskan 2 hal :  maju” ? atau “balik” ? Keputusan terhadap salah satu opsi tersebut berdasarkan berbagai penilaian dan pertimbangan dari aspek kesiapan sumber daya manusia maupun sarana prasarananya.  Pro atau kontra adalah masalah biasa terhadap sebuah perubahan. Tentu bagaimana cara orang menilai suatu perubahan  tergantung dari sudut pandang yang berbeda.



Fungsi  kurikulum sebagai instrumen dalam mencapai tujuan pendidikan nasional berdasarkan filsafat, idiologi, maupun kebudayaan. Pertanyaan, ada apa dengan Kurikulum 2013 ?  Benarkah filosofi K-13 sejalan dengan idiologi dan budaya bangsa ini, ataukah ? filosofi yang mendasari pengembangan K-13 : (1) pendidikan berakar pada budaya bangsa yakni membangun kehidupan kekinian dan masa datang melalui pengalaman belajar, memberi kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan masa kini dan masa depannya sebagai pewaris budaya bangsa serta peduli terhadap permasalahan bangsa. (2) pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui disiplin ilmu sebagai isi kurikulum dan pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). (3) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (social  reconstructivism). Aplikasi terhadap filosofi ini adalah penekanan pada keseimbangan soft skills dan hard skills sesuai hirarki jenjang pendidikan sehingga dapat menepis persepsi masyarakat bahwa pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif dan kurang berkarakter. Kompetensi inti (KI) 1 dan 2 sebagai kompetensi penggiring KI 3 dan KI 4 terasa lengkap memuat harapan kebanyakan orang  dalam rangka membentuk peserta didik menjadi insan yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual (IQ, EQ dan SQ).  Selain peserta didik memiliki kompetensi akademik dan keterampilan, kompetensi religi dan sosial lebih dikedepankan menjadi KI pertama dan kedua, bukan tanpa makna. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Semuanya dijadikan gaya belajar dan ”pembiasaan” (habit) sehingga diharapkan sanggup meminimalkan berbagai fenomena yang mengemuka (perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian serta dan gejolak sosial lainnya). Pola belajar dengan pendekatan saintifik (5 M) dan penilaian autentik demi menjalankan semua kompetensi inti merupakan pilihan tepat untuk diterapkan pada pembelajaran masa kini. Selain itu pergeseran paradigma “pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi “tenaga professional”  menuntut seorang guru sanggup menentukan pilihan yang tepat tanpa mempersoalkan hadirnya sebuah perubahan sistem. 
Dengan demikian tidak ada alasan bagi pelaku dan penyelenggara pendidikan di negeri ini untuk “balik” jika benar  mencintai bangsanya dalam menyiapkan generasi yang cerdas berkarakter serta mampu bersaing secara global. Sekali lagi, “maju” atau “balik” tergantung keputusan bijak kita.

 (Oleh : Dra. NEWYENU WATNEKA, M.Si)

0 comments:

Post a Comment