Karya Jurnalistik Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Ambon

Pemanfaatan Teknologi Informasi Untuk Pengembangan Kreatifitas Pelajar Di Bidang Jurnalistik.

Indahnya Kota Ambon

Pemandangan Yang Menakjubkan Dari Lokasi Taman Christina Martha Tiahahu (Karang Panjang) Saat Matahari Terbenam.

Keindahan Alam Dan Potensi Pariwisata

The Ora - Eco Resort. Berlokasi Di Antara Negeri Sawai Dan Saleman, Pantai Ora Dengan Sejuta Keindahannya.

Panorama Alam Dan Keramah Tamahan Yang Selalu Memikat

Pemandangan Saat Mentari Terbenam Di Penginapan Atas Laut Negeri Sawai - Seram Utara.

World Peace Gong

Terletak Di Pusat Kota Ambon, World Peace Gong Menjadi Simbol Perdamaian Dunia.

Wikipedia

Search results

Monday, June 18, 2018

“BARGAINING POSITION”, GURU DI ANTARA GENERASI MILLENIAL


“BARGAINING POSITION”
GURU DI ANTARA GENERASI MILLENIAL

Oleh :
Dra. Newyenu Watneka Romuty, M.Si
Pengajar SMA Negeri 1 Ambon


 Era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kini menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari. Indikator kemajuan dan prestise suatu bangsa diukur dari sejauh mana tingkat penguasaan teknologi tinggi (high level technology) dan pemanfaatan instrumen digital. Negara adikuasa (powerfull) seperti Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara-negara terhebat dunia, kaya dan berprestise dengan bermodalkan teknologi tinggi. Sehingga negara-negara yang tidak dapat bersaing dengan pesatnya kemajuan teknologi dianggap sebagai failed country. Begitu cepatnya informasi di belahan dunia sana diketahui oleh orang lain secara global. Dunia terasa makin sempit, ruang dan waktu menjadi relatif terbuka.
Michael F. Hauben dalam tulisannya berjudul  The Impact the Net Has on People’s lives, di paragraf pertama menuliskan :”Selamat datang di abad  ke-21, ..... secara fisik mungkin anda sedang hidup di satu negara, tapi anda sedang berhubungan  dengan sebagian besar dunia melalui jaringan komputer global”. Artinya siapapun tidak dapat menghindar dari dampak globalisasi yang masuk berpengaruh di setiap aspek kehidupan. Globalisasi mulai mengubah gaya hidup masyarakat kita. Ibarat air mengalir tanda bisa dibendung apalagi ditolak. Era globalisasi yang didominasi dengan teknologi digital membuat orang semakin lebih mudah memperoleh  informasi  layaknya sebuah keluarga kecil dalam satu  rumah,  tanpa saling  mengenal  sebelumnya bahkan  berjauhan, baik ruang dan waktu. Teknologi digital tidak hanya mempermudah aktifitas manusia namun  juga mempengaruhi pola pikir (mindset),  dan menghadirkan generasi  dengan pola hidup konsumtif dan instan. Nilai-nilai etika moral, komunikasi humanis, empati dan cinta tanah air hampir terkikis dikalangan generasi kita.  Saat ini berbagai fenomena kemerosotan moral anak bangsa dengan  mudahnya dipertontonkan dimana-mana. Jika demikian, siapakah yang bertanggung jawab penuh membantu  generasi ini agar tidak hanyut tak berdaya memfilter gejolak globalisasi sambil mempertahankan jati diri sebagai anak bangsa ? Dengan lantang jawabannya adalah : “Pendidikan”. Walaupun secara teori orang memahami bahwa pendidikan tidak terbatas di sekolah sebagai institusi, namun sasarannya adalah pendidikan formal dan aktornya adalah guru. Sementara penghuni dunia globalisasi adalah generasi before and after abad  ke-21 dengan karakter masing-masing.  Generasi before in  21 st is teacher yang tidak semuanya melek digital. Kondisi ini   menjadi salah satu  penghambat komunikasi antar guru dan peserta didik sehingga menimbulkan berbagai masalah. Guru tidak lagi memaksakan  metode konvensional seperti jamannya dulu namun  menyesuaikan dengan selera kaum “Millenial” peserta didiknya. Mentransfer ilmu sambil menanamkan dan membentuk nilai-nilai karakter membutuhkan keahlian/keterampilan  khusus  dan  justru faktor inilah yang akan membedakan guru bermartabat dengan profesi lainnya. Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan visinya tahun 2014 yakni : “Terselenggarannya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komperhensif”. Masalahnya,  bagaimana perlindungan hukum  profesi guru di era digital ? Bagaimana solusi dan tantangan Perlindungan Profesi Guru di era digital ?
Keberadaan guru sebagai pendidik profesional selalu diidentikan dengan subjek yang melakukan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan  mengevaluasi peserta didik. Tugas ini berbeda baik dari aspek input maupun outputnya. Bobot tertinggi yang jarang diperhitungkan adalah hasil mendidik dari seorang guru berupa pembentukan sikap, watak dan perilaku yang berkaitan dengan moral dan kepribadian. Keteladanan dan pembiasaan sebagai strategi mendidik inilah yang membuat guru berbeda dengan profesi lainnya. Namun  kenyataan sekarang semakin banyak kasus yang menyeret guru ke ranah hukum akibat dari cara pandang orangtua maupun masyarakat yang keliru. Keadaan ini terkesan  telah terjadi pergeseran  nilai moral etik dan ancaman bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2010, Rahman guru SD di Banyuwangi yang dipenjarakan 5 tahun, kasus Aop Saopudin, tahun 2012  guru yang mendisiplinkan anak saat razia rambut gondrong,  tahun 2015 kekerasan terhadap guru SMA Sukabumi, tahun 2016 terjadi lagi pemukulan guru SMK Negeri 2 Makasar oleh orang tua,  dan sangat minggu kemarin dunia pendidikan dihebohkan dengan meninggalnya Guru Budi di Madura karena pemukulan oleh peserta didiknya sendiri, serta masih banyak kasus yang tidak sempat tertangkap media digital. Dari kasus-kasus di atas yang menghantar guru masuk di ranah hukum antara lain dilakukan oleh peserta didik sendiri bersama orang tuanya maupun oleh  masyarakat.  Guru juga warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Ayat 1 UU nomor 14 tahun 2015 tentang guru dan Dosen telah mengatur bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberi perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan dimaksud ditegaskan pada ayat 3 meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Orang tua dan masyarakat harus memahami bahwa guru juga dijamin dalam Undang-undang dari ancaman intimidasi, perlakuan deskriminatif. Memberi sangsi bagi peserta didik yang melanggar norma pun dijamin dalam perlindungan profesionalisme yakni Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 sepanjang tidak menyalahi kode etik guru. Terhadap kasus-kasus tersebut  menarik perhatian publik dengan berbagai komentarnya. Ada yang beranggapan bahwa perlakuan pendisiplinan terhadap peserta didik oleh guru era tahun 80-90 menghasilkan generasi yang berkarakter dan berakhlak. Hingga kena tindak kekerasan fisikpun masih dianggap wajar jika peserta didik membuat pelanggaran. Orang tua justru menambah hukuman jika anaknya pulang   membawa keluhan  karena dipukuli, dijewer, dicubit, dibentak dan lain-lain  karena kesalahan. Kondisi ini berbeda jauh dengan kenyataan era digital. Guru akan diserang balik oleh orang tua  jika mengetahui anaknya diperlakukan  sedikit kasar, lagi-lagi dengan alasan HAM. Hal ini menunjukan bahwa keprofesian guru semakin tidak dihargai saat melakukan pendisiplinan terhadap peserta didiknya baik di dalam maupun di luar kelas. Maraknya kasus yang mendera guru di negeri ini, sepantasnya menjadi referens untuk mengambil kebijakan  menata kembali paradigma terhadap profesi guru, dan ini hanya mungkin dilakukan jika semua pihak memahami bahwa di tangan gurulah impian tercapainya tujuan pendidikan nasional dan pembentukan manusia seutuhnya dapat terwujud. Keras, tegas dan wibawa seorang guru akan membuat peserta didik takut membuat kesalahan.  Jaman dulu anak akan sedikit membungkuk tanda sapaan saat berpapasan dengan guru maupun orang tua, kini “menyenggolpun” bisa terjadi.  Di lain pihak profesionalisme guru ditantang untuk mendesain proses belajar mengajar  “pembelajaran abad ke-21” yang menghipnotis peserta didiknya sehingga mereka tidak punya alasan  menunjukan perilaku yang membuat pembelajaran menjadi tidak kondusif.
Kecakapan abad 21 mendorong Kurikulum di Indonesia terus direvisi melalui integrasi 4C (Critical thinking, creativity,Communication, Collaboration), Penguatan Pendidikan Karakter dan Literasi .  Sistem pendidikan mulai dibenahi dengan mengedepankan pendidikan karakter dan budi pekerti. Guru ditantang memiliki karakter keteladanan dan menjadi literat melebihi peserta didiknya. Bagaimana mungkin peserta didik gemar membaca dan menulis jika tidak dilatih secara rutin ? Mempersiapkan generasi emas tahun 2045 tidak akan terlepas dari  digital Literate. Tidak dapat disangkali bahwa belum semua guru sadar akan pentingnya internet sebagai sarana pendidikan. Kondisi geografis Indonesia menjadi faktor penghalang untuk memperoleh akses internet. Tidak bisa dibayangkan bagaimana keadaan guru-guru kita di daerah terpencil dengan infrastruktur yang minim termasuk kendala transportasi dan layanan listrik. Mereka sulit mendapatkan informasi baru demi mengembangkan profesionalismenya. Informasi tentang perubahan/revisi kurikulum yang terus bergulir sesuai tuntutan jaman kerap tidak diketahui.  Keberadaan hidup tenang tanpa tantangan justru memberi kenyamanan untukmengubah mindset dan kinerjanya. Rutinitas hidup di desa terus dinikmati tanpa dinamika jika dibandingkan dengan guru di perkotaan.
Tindakan pendisiplinan  yang terjadi di sekolah adalah bahagian pembentukan  karakter dan akhlak peserta didik sebagaimana yang diharapkan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Pemerintah melakukan perubahan kurikulum dari waktu  ke waktu  hingga pemberlakuan kurikulum 2013 yang  masih mengalami revisi, semua dilakukan dengan alasan membangun karakter anak bangsa. Perilaku generasi jaman now terhadap orang lain termasuk orang tua dan guru menggelisahkan dunia pendidikan. Hampir tidak ada batas etika yang diperlihatkan di setiap komunikasi antara anak dengan orang tua jika dibandingkan dengan generasi dahulu. Di lingkungan pendidikan, martabat  guru menjadi taruhannya. Sebenarnya keberadaan guru diatur oleh Kode etik   yang memuat acuan/pedoman dalam bertindak sesuai profesinya. Namun guru juga manusia dan bukan malaikat. Pasti saat tertentu dapat melakukan kesalahan/pelanggaran  terhadap kode etik profesinya. Ini bukan berarti serta merta guru dikeroyok atau diperhadapkan dengan masalah hukum. Kasus “kekerasan”  yang dilakukan guru masih sebatas penegakan  norma/ tatatertib yang juga harus dipatuhi siswa sebagai upaya pembentukan moral dan karakternya. Lembaga penegak hukum semestinya dapat membedakan mana tindakan pendisiplinan terhadap tata tertib di sekolah dengan pelanggaran HAM. Agar peristiwa menyedihkan yang pernah terjadi terhadap guru-guru kita di negeri ini tidak terulang kembali maka pemerintah dan organisasi profesi guru mesti memperkenalkan kode etik  guru Indonesia dan kepastian hukum melalui regulasi/peraturan yang jelas. Oleh sebab itu alur penyelesaian pelanggaran kode etik guru harus diperjelas melalui regulasi dan disosialisasikan kepada guru, orang tua dan masyarakat. Bahkan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan, LPTK  yang mempersiapkan calon-calon pendidik diharapkan dapat menjadikan kode etik menjadi salah satu muatan kurikulumnya. Tidak ada permintaan yang muluk-muluk, guru hanya membutuhkan rasa  nyaman, tenang dan fokus dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Bercermin dari berbagai kasus yang menerpa profesi ini, maka guru semakin berhati-hati bahkan perlahan menekan kerinduan untuk membatasi perannya sebagai pengajar tanpa mendidik. Kondisi ini merupakan ancaman baru bagi pembentukan akhlak generasi yang  cerdas intelektual namun rapuh dalam emosional dan spiritual. Jika fenomena ini  tidak diperhatikan maka tidak dapat dibayangkan  bahwa seperti apakah sosok generasi bangsa ini 5 atau 10 tahun mendatang ?
Kematian  tragis guru di tangan siswanya sendiri mendatangkan banyak tanggapan spekulatif. Tidak hanya dari aspek  manusiawi namun cara pandang terhadap guru profesionalisme yang tetap disegani, disanjung dan dihargai karena martabatnya menerobosi perubahan jaman. Masih hangat diingatan kita, moto Hari pendidikan Nasional tahun 2014 oleh Menteri Pendidikan Nasional,  Bapak Anies Baswedan, “Guru Mulia karena Karyanya”. Makna filosofi ini sangat mendalam untuk direnungkan. Profesi guru kembali mencari strategi yang cerdas dan membuatnya beda dengan peserta didiknya yang millenial. Guru perlu mengupgrade informasi melalui berbagai media digital tanpa mengandalkan bahan ajar, metode dan model pembelajaran usang yang dipakai berulang-ulang dari tahun ke tahun. Guru mestinya belajar bagaimana membelajarkan generasi digital karena guru   adalah imigran (new comer) digital. Terlibat dalam forum diskusi melalui online WA, Line untuk memperoleh informasi terkait materi pembelajaran, mengkongkritkan pembelajaran melalui youtube/Facebook, instagram, menggunakan penilaian berbasis komputer (UNBK), atau proaktif berkomunikasi dengan aneka platform pendidikan dengan jaringan internet dari perusahaan-perusahan yang membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Sebut saja, ruangguru, Haruka Edu, Zenius, Pesona Edu merupakan platform yang berkembang di Indonesia. Masing-masing platform menawarkan layanan materi pembelajaran secara online, video pembelajaran lengkap dengan worsheet, atau  VCD, DVD  bagi peserta didik dengan  layanan internet terbatas atau konten digital dan software lainnya. Penggunaan teknologi digital dapat mempermudah penyampaian materi pembelajaran sesuai dengan prinsip Kurikulum 2013, guru tidak memberi tahu  namun  sebaliknya peserta didik yang mencari tahu dari berbagai sumber belajar tanpa dibatasi ruang dan waktu.  Idealnya demi meningkatkan keterampilan peserta didik dalam  menghadapi tantangan abad 21  mewajibkan adanya pembobotan terhadap profesionalisme  guru  dengan pengetahuan dan  skill yang jauh  melebihi subjek kaum millenial yang dihadapi.
Peran guru dalam mempersiapkan peserta didik memiliki keterampilan abad  ke-21 diperhadapkan dengan tantangan tersendiri. Pembelajaran konvensional yang menjadikan peserta didik sebagai objek segera berubah menjadi subjek pembelajar. Pembelajaran yang berpusat pada guru berubah menjadi  student-centered. Guru berperan sebagai fasilitator yang juga harus terampil memfasilitasi pembelajaran berupa metode, alat peraga dan model pembelajaran  dalam skenario yang baik sesuai selera kaum millenial.  Skenario pembelajaran   kontekstual yang menarik dan  bervariasi akan membuat peserta didik menjadi terpukau dan secara tidak langsung menutup ruang/kesempatan bagi mereka untuk berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai karakter. 
“Bargaining Position”, ibarat supplier di dunia pendidikan, guru selalu menawarkan produk  profesionalismenya sehingga mencapai posisi yang lebih unggul dari kompetitor profesi lain serta menjadi costumer dengan  posisi tawaran yang tinggi.

Saturday, June 2, 2018

Pengumuman Hasil PPDB SMA Negeri 1 Ambon 2018


PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PDB

SMA NEGERI 1 AMBON

TAHUN 2018

Perhatian !!
Bagi peserta yang lolos seleksi agar melapor pada tanggal 05 - 07 Juni 2018 pukul 09.00 WIT bertempat di Ruang Kesiswaan SMA Negeri 1 Ambon dengan membawa bukti cetak surat keterangan -DITERIMA-.